Purwokerto – (AmperaNews.com) – Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho menilai sistem pemidanaan bagi pelaku kasus narkotika di Indonesia perlu memperkuat pendekatan ganda, yaitu perpaduan antara hukuman penjara dan rehabilitasi.
“Tidak ada yang salah dalam pemidanaan narkotika selama dijalankan secara proporsional. Namun, negara jangan hanya memidana, juga merehabilitasi,” katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat.
Menurut dia, pendekatan tersebut penting agar upaya pemberantasan narkotika tidak hanya menekankan sisi represif berupa hukuman penjara, juga memperhatikan aspek penyembuhan terhadap ketergantungan.
Ia mengatakan selama ini pelaksanaan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika masih cenderung diterapkan untuk kasus ringan, sedangkan bagi pelaku yang dikategorikan berat langsung diarahkan ke pidana penjara.
Pola seperti itu, kata dia, menciptakan kesenjangan dalam penegakan hukum.
“Seolah-olah rehabilitasi hanya untuk yang kecil-kecil, sementara yang besar langsung dipenjara. Padahal, keduanya bisa dilakukan bersamaan. Perpaduan antara pidana dan rehabilitasi atau dikenal dengan double track system justru menjadi solusi yang lebih baik,” katanya menjelaskan.
Menanggapi kasus berulang seperti yang melibatkan pesohor Ammar Zoni, Prof Hibnu mengatakan hal itu menunjukkan perlunya evaluasi terhadap efektivitas pembinaan di lembaga pemasyarakatan.
“Kalau pelaku berkali-kali terjerat kasus serupa, artinya ada yang belum tuntas dari sisi rehabilitasi. Sistem kita seharusnya tidak hanya menghukum, juga menyembuhkan ketergantungan agar tidak kambuh,” katanya menegaskan.
Meskipun demikian, dia mengatakan penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika tetap harus dilakukan secara tegas, terutama jika pelaku terbukti terlibat dalam peredaran atau jaringan yang membahayakan masyarakat.
“Kalau kejahatannya sudah sampai pada tingkat membahayakan publik, penegakan hukumnya memang harus ketat. Karena Indonesia ini bukan sekadar pasar narkotika, tapi sudah menjadi salah satu titik suplai besar,” katanya.
Ia mengatakan kebijakan seperti penempatan narapidana narkotika dalam sistem one man one cell atau satu sel satu orang juga dapat dibenarkan sepanjang ditujukan untuk menjaga keamanan dan mencegah peredaran narkotika dari dalam penjara.
Jika dilihat dari sisi keamanan dan kontrol, kata dia, kebijakan tersebut relevan terutama untuk pelaku dengan risiko tinggi.
“Tapi proses pemidanaan itu tetap harus dibarengi dengan pembinaan dan rehabilitasi,” katanya.
Selain itu, dia juga menyoroti pentingnya kejelasan dalam pelaksanaan hukuman mati bagi bandar besar narkotika yang telah divonis pengadilan.
Ia mengatakan eksekusi harus jelas dan konsisten agar penegakan hukum tidak dianggap lemah oleh jaringan bandar narkotika.
Dalam hal ini, kata dia, ketegasan tersebut diperlukan agar ada efek jera yang nyata.
Ia menegaskan pemberantasan narkotika di Indonesia harus dijalankan secara komprehensif dengan menggabungkan aspek penegakan hukum yang tegas, rehabilitasi yang efektif, dan kebijakan pencegahan yang berkelanjutan.
“Masalah narkotika bukan sekadar soal hukum, juga kesehatan dan sosial. Maka pendekatannya harus menyeluruh,” kata Prof Hibnu.


















