MATARAM — ( AmperaNews.com ) – Polemik royalti musik yang ditagih oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) kini merambah ranah yang tak terduga, hotel syariah. Hotel Grand Madani, salah satu hotel berbasis syariah di Kota Mataram, memutuskan untuk menghentikan sementara pemutaran lantunan Alquran (murotal) di area lobi. Keputusan ini diambil setelah pihak hotel menerima tagihan royalti tahunan sebesar Rp 4,45 juta dari LMKN.
General Manager Hotel Grand Madani, Rega Fajar Firdaus, menyatakan keberatannya atas kewajiban tersebut. Menurutnya, murotal yang diputar rutin dari pagi hingga menjelang waktu maghrib bukanlah musik komersial, melainkan bagian dari identitas dan suasana hotel syariah.
“Untuk sementara kami hentikan dulu. Kami menunggu sikap resmi dari asosiasi hotel. Kalau nanti diputuskan untuk membayar, kami akan patuhi. Setelah itu baru kami putar lagi,” ujar Rega kepada Radar Lombok, Senin (18/8/2025).
Tagihan royalti dari LMKN mencakup seluruh bentuk audio yang diputar di area publik hotel, termasuk musik, siaran televisi, bahkan suara alam seperti kicau burung. Grand Madani yang memiliki 59 kamar dikenai tarif royalti Rp 4 juta per tahun, ditambah pajak 11 persen.
“Sekarang hotel kami benar-benar hening. Tidak ada musik, tidak ada murotal. Televisi di kamar pun masuk hitungan LMKN, padahal kami tidak tahu apa yang ditonton tamu,” tambah Rega.
Sosialisasi tarif royalti ini sebelumnya telah dilakukan LMKN di Kantor Wilayah Kemenkumham NTB pada akhir Juni lalu. Aturan tersebut merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang mewajibkan pelaku usaha membayar royalti atas penggunaan karya cipta, termasuk audio yang diputar di ruang publik.
Hingga kini, Grand Madani belum melakukan pembayaran royalti sesuai tagihan. Asosiasi Hotel Mataram (AHM), tempat Rega juga menjabat sebagai sekretaris, berencana menggelar rapat pada Kamis mendatang untuk menentukan sikap bersama.
“Kami hentikan dulu semua bentuk pemutaran audio. Kalau ditanya, kami jelas keberatan. Apalagi yang dihitung itu murotal, sementara kami hotel syariah,” tegasnya.
Polemik ini menambah kegelisahan pelaku usaha perhotelan di Mataram. Banyak hotel menilai bahwa skema perhitungan royalti oleh LMKN tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan. Pihak asosiasi kini tengah mencari jalan tengah agar aspirasi para pengusaha bisa tersampaikan tanpa melanggar regulasi yang berlaku.
“Nanti setelah rapat Kamis, kami akan sampaikan sikap resmi dari asosiasi. Sampai saat ini, kami belum bisa menyatakan mendukung atau menolak,” tegas Rega.
Terpisah, Sekretaris Komisi II DPRD Kota Mataram, H. Muhtar menyatakan bahwa kebijakan royalti ini patut ditinjau ulang. Pasalnya, penerapannya juga dinilai diluar logika.
Seperti aduan salah satu hotel Syariah di Kota Mataram, yang selama ini hanya memutar lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an, ternyata juga tidak lepas dari tagihan pajak (royalty).
“Ekonomi kita baru bangkit. Penerapan royalty ini akan memberatkan kalangan pengusaha. Masa sih dengar Al-Qur’an saja kita dipajakin,” sesal Muhtar.
Politisi Gerindra ini menyebutkan, saat ini semua kebijakan yang berkaitan dengan royalty terhadap pelaku usaha, seharusnya ada kajian lebih dahulu, sehingga (LMKN) tidak semena-mena menaggih.
Sementara itu, Issak Irwansyah dari bagian Humas LMKN belum memberikan tanggapan saat dikonfirmasi terkait protes dari hotel syariah atas tagihan royalti murotal. Publik kini menanti kejelasan apakah lantunan ayat suci Alquran yang diputar di ruang publik akan tetap dikenai royalti, atau ada pengecualian khusus bagi hotel berbasis syariah.