Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Uncategorized

Dedi Mulyadi Izinkan 1 Kelas Isi 50 Siswa, Kebijakan Tuai Kontroversi

20
×

Dedi Mulyadi Izinkan 1 Kelas Isi 50 Siswa, Kebijakan Tuai Kontroversi

Share this article
Example 468x60

Jawa Barat – ( AmperaNews.com) – Keputusan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tentang penambahan kuota siswa menjadi sorotan. Kebijakan itu tertuang dalam Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah Jenjang Pendidikan Menengah di Provinsi Jawa Barat.

Keputusan itu memuat tujuan pencegahan anak putus sekolah, antara lain, meningkatkan akses layanan pendidikan bagi murid yang terkendala dalam penerimaan murid baru secara reguler. Kemudian, memberikan pemenuhan hak warga Jawa Barat untuk mendapatkan layanan pendidikan bermutu, serta meningkatkan angka partisipasi sekolah ke SMA atau SMK.

Example 300x600

Calon murid yang disasar berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu, dari panti asuhan yang terdaftar pada dinas sosial, yang terdampak bencana alam, serta murid bina lingkungan sosial budaya. Adapun satuan pendidikannya yang memfasilitasi adalah sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) negeri serta SMA Terbuka.

Calon murid ditempatkan pada satuan pendidikan sebanyak-banyaknya 50 murid disesuaikan dengan hasil analisis data luas ruang kelas yang akan digunakan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. 

Menurut Ketua Perwakilan Ombudsman Jawa Barat Dan Satriana, penambahan daya tampung siswa baru di SMA dan SMK negeri seperti disebutkan dalam keputusan Dedi Mulyadi berpotensi melanggar aturan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). Dia mengatakan penambahan murid di kelas yang melebihi ketentuan standar akan berimplikasi pada kualitas dan pelayanan pembelajaran.

“Usulan penambahan jumlah murid tersebut seharusnya dilakukan pada tahap perencanaan penerimaan murid baru, saat melakukan penetapan wilayah sebaran dan simulasi daya tampung sebelum diumumkan pendaftaran SPMB,” katanya kepada AmperaNews pada Rabu, 3 Juli 2025.

Meskipun dimungkinkan ada pengecualian jumlah murid di setiap rombel, menurut Dan, acuannya pada Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 071/H/M/2024. Pengecualian itu dibatasi kriteria, yaitu satuan pendidikannya baru didirikan, melaksanakan pembelajaran kelas rangkap, atau berada di daerah khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Keputusan itu juga tidak sesuai dengan Peraturan Mendikdasmen yang mengatur pelibatan sekolah swasta dalam hal terdapat kekurangan daya tampung pada satuan pendidikan negeri,” ujarnya.

Ombudsman menilai kebijakan penambahan murid itu juga berpotensi menimbulkan permasalahan lain, seperti tuntutan memasukkan calon murid yang tidak diterima di jalur lainnya dengan berbagai alasan. Kemudian, bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap konsistensi pernyataan dan kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Hal itu juga bisa memunculkan rasa ketidakadilan bagi calon murid jalur lain yang sudah patuh mengikuti seluruh tahapan dan prosedur SPMB.

“Juga berpotensi membuat ketidakpuasan sekolah swasta mengenai perhatian pemerintah. Padahal, dengan jumlah sekolah swasta yang lebih banyak dibandingkan sekolah negeri, mereka selama ini telah berkontribusi dalam meningkatkan angka partisipasi pendidikan di Jawa Barat,” ujarnya.

Ombudsman meminta agar upaya Pemprov Jawa Barat membantu anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah untuk mengakses pendidikan tidak dibatasi pada sekolah negeri.

Adapun Forum Kepala Sekolah Menengah Atas Swasta Provinsi Jawa Barat mendesak Dedi Mulyadi mencabut aturan terbarunya soal penambahan daya tampung siswa SMA dan SMK negeri hingga 50 orang per kelas.

Ketua Umum Forum Kepala SMA Swasta Jawa Barat Ade D. Hendriana mengatakan alasan penolakan aturan itu karena bertentangan dengan aturan menteri perihal luas ruang kelas dan jumlah maksimalnya. 

Forum itu juga khawatir dampaknya akan membuat banyak sekolah swasta tutup karena tidak diberi ruang bersaing. “Kebijakan tersebut akan membenturkan sekolah negeri dan swasta sehingga berpotensi terjadinya kesenjangan sosial yang semakin tajam dalam dunia pendidikan,” kata dia kepada Tempo pada Rabu, 2 Juli 2025.

Ade menyebutkan penerimaan siswa di SMA dan SMK negeri bagi anak yang dicegah putus sekolah itu merupakan aturan baru di luar pembahasan dan pelaksanaan SPMB yang prosesnya kini hampir selesai.

“Kalau pencegahan anak putus sekolah ini dilaksanakan, sudah tidak sesuai dengan standar prosedur operasional SPMB karena munculnya di akhir,” katanya. Dia menyebutkan kebijakan ini berpotensi memunculkan siswa titipan, dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap SPMB.

Desakan pencabutan keputusan Dedi Mulyadi itu disampaikan lewat surat terbuka kepada publik dan ditujukan atau dilayangkan khusus kepada Presiden Prabowo Subianto, Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Kemudian, kepada Ketua Komisi V DPRD Provinsi Jawa Barat Yomanius Untung, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Purwanto, Ketua Umum Badan Musyawarah Perguruan Swasta Pusat Saur Panjaitan, Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta Wilayah Jawa Barat Sodik Mudjahid.

Forum ini juga mengancam akan membawa persoalan itu ke ranah hukum. “Kalau tidak ada tindak lanjut, kita berencana menggugat ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara),” kata Ade.

Dedi Mulyadi Bilang Satu Kelas Maksimal 50 Siswa Hanya Berlaku Sementara

Sementara itu, Dedi Mulyadi mengatakan kebijakan satu ruang kelas boleh diisi 50 orang siswa hanya berlaku sementara sembari menunggu kelas baru selesai dibangun. 

Mantan Bupati Purwakarta itu menargetkan paling lama kondisi itu berlaku sampai Januari 2026. Dia menargetkan pada Januari 2026, siswa sudah belajar dengan kuota siswa normal, yakni 30-35 siswa per kelas.

Dedi menjelaskan Pemprov Jawa Barat sudah menyiapkan anggaran baru sebesar Rp 100 miliar untuk penambahan kelas di sekolah-sekolah negeri yang menampung 50 anak per kelas. Ruang kelas yang akan dibangun nanti rencananya berjumlah 736 ruangan, dan ditentukan setelah proses penerimaan murid baru tahun ajaran 2025/2026 tuntas.

“Kami upayakan dalam enam bulan awal ini sudah ada ruang kelas baru,” kata Dedi kepada Tempo melalui sambungan telepon pada Kamis, 3 Juli 2025.

Politikus Partai Gerindra itu menegaskan kebijakan satu ruang kelas untuk 50 orang siswa hanya berlaku untuk jenjang SMA dan SMK. Dia beralasan satu kelas 50 orang untuk jenjang SMA dan SMK tidak akan begitu berpengaruh terhadap pembelajaran. 

Dia menilai proses belajar mengajar di tingkat ini tidak bisa disamakan dengan tingkat sekolah dasar (SD) atau sekolah menengah pertama (SMP). “Kalau SD itu kan gurunya perlu satu-satu tuh. Kalau SMA dan SMK kan sudah beda interaksi belajarnya. Paparan, membaca, pelajari. Jadi beda,” kata Dedi.

Mengenai kekhawatiran para kepala sekolah swasta bahwa kebijakan ini mengurangi jatah siswa mereka, Dedi menuturkan kebijakan ini diterbitkan untuk anak dari keluarga tidak mampu yang di sekitar rumahnya jauh dari sekolah swasta.  

“Artinya, aturan ini untuk di daerah-daerah tertentu yang jumlah sekolahnya masih sangat terbatas, maka saya mempersilakan untuk menerima maksimal 50,” tutur Dedi.

Dedi mengklaim kebijakan ini lebih baik dibanding anak harus putus sekolah. Selama ini, kata dia, angka siswa lulus tidak melanjutkan sekolah di Jawa Barat adalah yang tertinggi se-Indonesia dengan total mencapai 200.167. Sementara jumlah siswa putus sekolah mencapai 168.689 orang. “Jawa Barat tuh angka putus sekolahnya tertinggi,” ujarnya.

Example 300250
Example 120x600

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *