JAKARTA – ( AmperaNews.com ) – Sejumlah Asisten Rumah Tangga (ART) ramai-ramai menyampaikan keluh kesah pengalamannya saat bekerja dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (17/7/2025).
Baleg memang tengah menyerap aspirasi ART untuk dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). RUU PPRT telah diajukan sejak 2004 dan dianggap mendesak sebagai payung hukum untuk melindungi pekerja di bidang rumah tangga.
RUU PPRT juga selalu masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) setiap periode DPR, tetapi tidak juga berhasil disahkan hingga DPR periode 2019-2024 berakhir. Pada periode 2024-2029, DPR RI kembali membahas RUU PPRT dan menyatakan akan berupaya menyelesaikannya.
Kerja sebulan penuh, gaji seadanya Salah satu ART yang hadir dalam rapat pleno, Ajeng Astuti, menceritakan pengalamannya ketika bekerja tanpa batas waktu dan tanpa libur, namun gaji yang diterima justru seadanya. Ia sudah bekerja selama 30 tahun sejak berusia di bawah 17 tahun.
Ia mengaku pekerjaan ini dipilih untuk membantu ekonomi keluarganya. Terlebih, Ajeng adalah anak pertama perempuan sehingga merasa memiliki tanggung jawab lebih. “Jadi, yang saya pikirkan tidak ada pilihan bekerja menjadi PRT, di mana orang-orang berpikir bekerja menjadi PRT tidak harus ada keahlian khusus, yang penting bisa mengerjakan pekerjaan rumah dari menyapu hingga membersihkan rumah majikan,” kata Ajeng.
Sayangnya, besarnya beban kerja tidak disertai dengan gaji yang memadai. Ia pun mengingat-ingat gaji yang didapatnya pada medio 1992. Ia hanya mendapatkan upah Rp 35.000, sebagai bukti bahwa gaji PRT sangat tidak layak. Menurut Ajeng, hak itu pun tidak mengalami perubahan berarti setelah 30 tahun bekerja. “Saya pernah punya pengalaman bekerja tanpa hari libur, Pak. Dalam satu bulan, saya hanya diberikan izin pergi pagi dan sore harus kembali ke rumah majikan. Dan saya manut pada saat itu. Karena saya pikir ya harus kerja, saya harus membantu perekonomian keluarga,” ucap Ajeng.
ART lainnya, Yuni Sri Rahayu, menceritakan bahwa pekerjaan yang diembannya sangat rawan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak. Bahkan, PHK bisa didapat hanya karena meminta kontrak kerja tertulis untuk mengupayakan hak-hak dasar, meski sudah bekerja belasan tahun. Ia sendiri sudah bekerja selama 15 tahun. “Kebanyakan kita untuk mendapatkan kontrak kerja itu susah. Pengalamannya banyak kawan-kawan meminta kontrak kerja, tetapi malah di PHK dan dalam bentuk PHK ini berhenti mendadak sepihak,” kata Yuni, dalam rapat yang sama.
Senada dengan Ajeng, Yuni juga mendapat upah kecil. Dirinya mengaku upahnya pernah dipotong hingga setengah gaji lantaran telat lima menit. Upah yang diterimanya menjadi Rp 350.000 dari seharusnya Rp 700.000. Padahal, pekerjaannya meliputi banyak hal, seperti memasak, mencuci, hingga menjaga anak.
“Semuanya itu saya kerjakan, tapi saat saya hanya 5 menit telat, saya harus berisiko upah saya dipotong dan di-PHK secara sepihak. Di situ saya sangat benar-benar berpikir bagaimana saya harus mendapatkan upah saya yang utuh, padahal di keluarga saya membutuhkan itu,” ujar Yuni. Saat itu, Yuni hanya bisa menerima, termasuk ketika mendapatkan pelecehan seksual. Bahkan hingga kini, dirinya tidak berani menceritakan pelecehan seksual yang dialami kepada keluarganya.
Ia khawatir, cerita tersebut justru membuatnya tidak bisa bekerja lagi. Ia berharap negara bisa memberikan keadilan dan hadir melindungi PRT melalui pengesahan RUU PPRT. “Di sini saya berharap negara ini benar-benar adil buat kita karena pekerja domestik di negara sendiri belum ada perlindungan. Saya mau ada keadilan karena saya melihat di Pancoran itu ada Badan Pelindung Pekerja Migran, tetapi kenapa tidak ada pelindung pekerja domestik,” ujar Yuni.
Minta jaminan Oleh karenanya, para ART meminta jaminan agar hak-haknya turut diatur dalam RUU PPRT yang selama ini dipandang sebelah mata. Ia menginginkan RUU PPRT mengatur kontrak kerja tertulis untuk menjamin perlindungan bagi buruh domestik. “Jadi, kenapa kita mau minta adanya kontrak kerja tertulis supaya ada hukum yang berlaku untuk kita karena adanya kekerasan dan diskriminasi. Banyak kawan-kawan PPRT yang tidak bisa mengadu di mana mereka jika memiliki masalah,” tutur Yuni.
Tak hanya itu, mereka juga meminta RUU PPRT mengatur klasifikasi pekerjaan. Wakil Presiden Partai Buruh, Jumisih, mengungkapkan, setidaknya ada sembilan jenis atau klasifikasi pekerjaan yang bisa dikerjakan ART. Pekerjaan itu merupakan pekerjaan domestik rumah tangga mulai dari memasak, mencuci, menyetrika pakaian, membersihkan rumah, membersihkan halaman atau kebun, hingga merawat anak. Kemudian, menjaga orang sakit atau orang berkebutuhan khusus, mengemudi, menjaga rumah, maupun mengurus binatang peliharaan. “Itu adalah jenis-jenis klasifikasi pekerjaan yang kami usulkan. Ada 9 jenis pekerjaan dan tentu saja itu tidak bisa dikerjakan oleh satu pekerja rumah tangga, tetapi bukan juga otomatis ada 9 pekerja rumah tangga,” ujar Jumisih.
Jumisih mengungkapkan, klasifikasi perlu diatur agar meminimalisir beban kerja yang terlalu banyak dengan gaji yang sesuai. PRT, lanjut dia, bisa bernegosiasi secara setara dengan pemberi kerja terkait dengan jenis pekerjaan yang perlu disepakati. Begitu pun dengan hak apa saja yang harus didapat oleh PRT, sekaligus hasil pekerjaan yang layak diterima oleh pemberi kerja.
PRT juga harus mendapatkan jaminan sosial untuk melindunginya ketika sakit atau kecelakaan. “Itu dibutuhkan bagi pekerja rumah tangga apabila pekerja rumah tangga mengalami sakit atau kecelakaan, supaya terdaftar juga di dalam BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan,” ujar Jumisih.
Tanggapan DPR Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan menanggapi bahwa Baleg tidak akan mundur dalam menyelesaikan pembahasan RUU PPRT, walaupun mendapatkan tekanan kritik dari berbagai pihak.
Salah satu kritik yang masuk adalah lambatnya pengesahan RUU PPRT. Bob menyatakan ingin menyerap semua aspirasi secara menyeluruh, sehingga materi muatan RUU tersebut benar-benar komprehensif. DPR selama ini kerap dikritik karena dianggap tergesa-gesa dan tertutup dalam menjalankan proses legislasi.
“Kami tidak akan kendur, tidak akan mundur. Karena kekuasaan kita masing-masing ada. DPR itu legislatif. Mahkamah, baik konstitusi maupun agung, itu yudikatif. Tidak bisa masuk ke dalam ranah kekuasaan legislatif. Begitu juga eksekutif,” ujar dia.
Dalam kesempatan itu, Bob juga menginformasikan bahwa Naskah Akademik (NA) RUU PPRT yang digunakan saat ini adalah versi terbaru. Dia pun mengeklaim bahwa berbagai masukan, termasuk dari kelompok masyarakat sipil pendukung RUU PPRT, telah menjadi catatan penting dalam proses penyusunan.
“Contoh kayak tadi koalisi menyatakan yang penting persamaan hak. Sehingga harus ada perjanjian tertulis. Maka ini menjadi catatan buat kita,” pungkas dia. Namun, terkait upah, ia berpendapat, upah bagi ART harus realistis, adil, dan tidak bertentangan dengan ketentuan upah minimum yang berlaku di masing-masing daerah. Di sisi lain, upah harus mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. “Tentang upah menjadi penting juga. Upah ini tidak mungkin menabrak pekerja formal, tidak mungkin menabrak tarif UMR di setiap daerah,” tegas Bob.


















