Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Uncategorized

Menggeser Jantung Ekonomi: Pemerintah Menunaikan Janji Hilirisasi Nasional

7
×

Menggeser Jantung Ekonomi: Pemerintah Menunaikan Janji Hilirisasi Nasional

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Jakarta – (AmperaNews.com) – Aktivitas industri manufaktur Indonesia menunjukkan denyut ekspansi berkelanjutan di level 50,4 pada September 2025, yang merupakan sebuah sinyal positif, bahkan melampaui kinerja manufaktur Jepang dan Jerman.

Hanya saja, seperti dikutip S&P Global, optimisme jangka pendek ini menyamarkan sebuah krisis laten yang jauh lebih mematikan.

Example 300x600

Oleh sebagian ekonom, Indonesia, kini disebut berada dalam cengkeraman deindustrialisasi prematur, yaitu penurunan peran industri sebelum ekonomi nasional mencapai kematangan yang memadai, sebuah diagnosis kritis yang dikemukakan oleh ekonom Dani Rodrik.

Kontribusi sektor manufaktur yang seharusnya menjadi motor utama pertumbuhan, terus merosot tajam, anjlok dari 27,4 persen produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2001, tersisa di angka 18,3 persen pada tahun 2023.

Krisis struktural yang mengancam jebakan pendapatan menengah (middle-income trap) inilah yang membuat program Hilirisasi menjadi mandat utama pembangunan, saat ini.

Krisis struktural ini berakar dari kegagalan tata kelola industri masa lalu. Evaluasi implementasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian menemukan dua sangkaan utama: sentralisme kebijakan dan ketergantungan kronis.

Investasi dan pembangunan industri terpusat di Jawa, sementara kawasan luar Jawa yang kaya raya hanya dijadikan pemasok bahan mentah.

Imbasnya, industri domestik terlalu bergantung pada impor bahan baku, menyebabkan rendahnya nilai tambah dalam negeri (TKDN) dan lemahnya daya saing global.

Program Hilirisasi yang dicanangkan pemerintah hadir sebagai respons radikal dan wajib terhadap krisis ini. Hilirisasi bukan sekadar agenda ekonomi, melainkan strategi transformasi struktural total.

Tujuannya jelas, memaksa Indonesia bertransisi dari penjual komoditas mentah menjadi produsen produk jadi bernilai tinggi, sekaligus mematahkan rantai sentralisme pembangunan di Jawa.

Komitmen ini telah menarik kepercayaan investor dan kini menuntut reformasi kelembagaan yang adaptif di seluruh Indonesia.

 

Investasi lintas wilayah

Kepercayaan investor terhadap janji hilirisasi terbukti kuat di tengah ketidakpastian global. Realisasi investasi nasional sepanjang Semester I Tahun 2025 mencapai Rp942,9 triliun, dengan kontribusi sektor hilirisasi mencapai Rp280,8 triliun, setara 29,8 persen dari total keseluruhan.

Kontribusi ini melonjak 55 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Sektor mineral memimpin, didukung ekspansi manufaktur yang tercermin dari indeks manajer pembelian (PMI) yang ekspansif.

Hal yang terpenting adalah pergeseran spasial. Komitmen pemerataan pembangunan kini menjadi nyata. Peta proyek prioritas hilirisasi dan ketahanan energi menunjukkan 67 persen dari proyek strategis tersebut direncanakan berlokasi di luar Pulau Jawa. Ini adalah upaya nyata membangun klaster industri di lokasi sumber daya berada.

Sebagai contoh, Klaster Morowali, Bantaeng, dan Konawe menjadi sentra bagi industri pengolahan nikel dan metalurgi, sementara Gresik berfungsi sebagai hub pemurnian logam mulia untuk tembaga dan emas.

Sementara di luar Jawa, Sei Mangkei dan Kuala Tanjung diproyeksikan menjadi klaster pengembangan industri berbasis agro dan aluminium.

Pergeseran ini sejalan dengan pendekatan Smart Specialization, membangun sektor unggulan berbasis keunggulan komparatif regional. Meskipun demikian, hilirisasi harus seimbang. Mengandalkan mineral saja berbahaya karena proyeknya padat modal.

Pemerintah harus fokus pada sektor padat karya. Sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan menyerap 28,54 persen tenaga kerja nasional. Oleh karena itu, fokus pada enam komoditas perkebunan strategis, yakni kelapa, kopi, mete, tebu, kakao, dan lada, sangatlah vital.

Hilirisasi komoditas ini diproyeksikan dapat menyerap hingga 1,6 juta tenaga kerja baru, seperti dikutip dari data Kementerian Pertanian. Inilah janji konkret hilirisasi untuk mengatasi pengangguran di tingkat akar rumput.

Membangun fondasi adaptif

Keberhasilan hilirisasi ditentukan oleh seberapa cepat negara mereformasi tata kelola yang kaku. Kita perlu menggeser model hirarkis lama menuju tata kelola jaringan (Network Governance). Reformasi struktural menuntut dua hal, yakni desentralisasi asimetris dan kebijakan adaptif.

Pertama, di tingkat daerah, sentralisme harus diputus. Banyak pemerintah daerah belum mampu menyusun rencana pembangunan industri daerah (RPI-D) yang terintegrasi dengan rencana tata ruang mereka.

Untuk mengatasi kegagalan kelembagaan ini, pemerintah pusat harus menerapkan konsep desentralisasi asimetris, memberikan kewenangan fleksibel kepada daerah untuk merancang RPI-D yang bottom-up.

Desentralisasi ini harus diimbangi dengan insentif fiskal berbasis kinerja, memberikan penghargaan bagi daerah yang berhasil mencapai target strategis industri, sejalan dengan kerangka UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD).

Kedua, daya saing menuntut adaptasi. Dalam konteks ekosistem baterai dan kendaraan listrik, target tingkat komponen dalam negeri (TKDN) harus mencapai 40 persen. Target ambisius ini menuntut penguatan SDM.

Prioritas harus diberikan pada peningkatan link and match antara sekolah menengah kejuruan (SMK) atau politeknik dengan dunia industri. Program pelatihan dan sertifikasi kompetensi nasional harus dipercepat agar lulusan vokasi siap diserap oleh proyek-proyek teknologi tinggi.

Ketiga, regulasi harus fleksibel. Untuk menghadapi disrupsi global, kebijakan harus dirumuskan secara adaptif (Adaptive Policy Framework). Pemerintah perlu melembagakan mekanisme regulatory sandbox di Kementerian Investasi/BKPM.

Mekanisme ini memberi ruang uji coba kebijakan industri baru dalam lingkungan terkendali, memastikan regulasi tidak kaku dan selalu responsif terhadap inovasi, sebuah pendekatan yang telah sukses diterapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di sektor fintech.

Langkah ini, ditambah penguatan kolaborasi quadruple helix (pemerintah, bisnis, akademisi, dan masyarakat sipil), akan memastikan kebijakan industri tidak menjadi penghalang, melainkan pendorong utama kemajuan.

Bahkan, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM sendiri tengah menerbitkan aturan yang mewajibkan perusahaan besar penerima insentif fiskal untuk bermitra dengan UMKM dalam rangka penguatan hilirisasi nasional, yang harmonisasinya rampung pada September 2025.

Hilirisasi adalah kunci emas untuk menanggulangi deindustrialisasi dan mewujudkan pemerataan ekonomi. Ia telah berhasil memutus rantai sentralisme investasi.

Meskipun demikian, keberhasilan final bergantung pada penguatan fondasi kelembagaan. Pemerintah harus mempraktikkan desentralisasi asimetris dan mengadopsi kerangka kebijakan adaptif secara total.

Hanya dengan mengombinasikan proyek padat modal dan padat karya, didukung tata kelola yang fleksibel dan SDM berkualitas, cita-cita menggeser jantung ekonomi nasional ini dapat tercapai secara inklusif, berkelanjutan, dan benar-benar berdaya saing global.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *