Jakarta – (AmperaNews.com) – Era modern saat ini, listrik menjadi kebutuhan utama masyarakat.
Hampir seluruh aktivitas, mulai dari pendidikan, layanan kesehatan, hingga kegiatan ekonomi bergantung pada pasokan energi listrik yang andal.
Tanpa listrik, denyut kehidupan masyarakat seolah terhenti. Karena itu, pemerataan akses listrik dengan memenuhi rasio elektrifikasi menjadi salah satu prioritas utama pemerintah dalam mewujudkan pembangunan inklusif dan berkelanjutan.
Di balik gemerlap kota besar yang terang, masih ada wilayah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T) yang hidup dalam keterbatasan elektrifikasi.
Rasio elektrifikasi nasional hingga semester I 2025 tercatat sebesar 99,83 persen. Artinya 0,17 persen daerah di Tanah Air belum secara maksimal merasakan manfaat elektrifikasi.
Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan berbasis Energi Baru dan Terbarukan (EBT), agar seluruh rakyat Indonesia dapat menikmati terang yang sama.
Pemanfaatan EBT dilakukan bukan hanya untuk memaksimalkan potensi elektrifikasi yang mencapai 3.700 gigawatt (GW) yang berasal dari angin, surya, biomassa, dan panas bumi saja, melainkan pula untuk memacu bauran EBT hingga 23 persen di tahun 2030.
Merdeka dari kegelapan
Salah satu program strategis yang dijalankan untuk memenuhi rasio elektrifikasi yakni Merdeka dari Kegelapan.
Dengan berkolaborasi bersama Perusahaan Listrik Negara (PLN), program ini mencakup tiga kegiatan besar.
Pertama Program Bantuan Pemasangan Baru Listrik (BPBL) di Minahasa, Sulawesi Utara, kedua peresmian Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Wairara berkapasitas 128 kilowatt (kW) di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan ketiga peresmian PLTMH Anggi Tahap I yang memiliki kapasitas 150 kW, serta peletakan batu pertama PLTMH Anggi Tahap II dengan kapasitas 250 kW di Pegunungan Arfak, Papua Barat.
Alasan Sulawesi Utara, NTT, dan Papua Barat menjadi sasaran dari program ini yakni masih adanya desa yang belum dialiri listrik.
Di Sulawesi Utara misalnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan angka rasio elektrifikasi di daerah itu sebanyak 99,40 persen. Sementara Papua Barat dan NTT masih mencatat rasio elektrifikasi 89,80 persen.
Untuk Sulawesi Utara, pemenuhan rasio elektrifikasi ditingkatkan dengan memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tonsea Lama.
Pembangkit listrik ramah lingkungan itu memiliki kapasitas 12 megawatt (MW) yang mengaliri 204 kecamatan di Sulawesi Utara dan Gorontalo atau sekitar 6.120 rumah.
Dalam program ini, khususnya Sulawesi Utara, pemerintah turut melakukan BPBL dengan menyambungkan listrik ke 1.000 rumah tangga, dan menargetkan 2.700 rumah tangga pada tahun ini.
Setiap paket BPBL meliputi instalasi listrik rumah, tiga titik lampu dan satu kotak kontak, sertifikat laik operasi (SLO), penyambungan ke jaringan PLN berdaya 900 VA, serta token perdana Rp100.000.
Secara nasional, hingga September 2025, sebanyak 135.482 rumah tangga telah tersambung dari target 215.000 rumah tangga di tahun ini.
Untuk daerah NTT, pemanfaatan EBT sebagai elektrifikasi dilakukan dengan membangun PLTMH Weirara.
Sejak beroperasi pada November 2022, pembangkit ini sudah mengaliri listrik ke 105 pelanggan termasuk puskesmas, sekolah dasar dan menengah, gereja, serta kantor pemerintahan setempat.
Dengan kapasitas terpasang terbaru 128 kW, pembangkit listrik ini diharapkan mampu melistriki hingga ribuan rumah di daerah sekitar.
Sementara, di daerah Pegunungan Arfak, Papua Barat peningkatan rasio elektrifikasi menggunakan EBT dilakukan dengan membangun dua proyek sekaligus, yaitu PLTMH Anggi Tahap I yang memiliki kapasitas 150 kW, dan PLTMH Anggi Tahap II dengan kapasitas 250 kW.
Diharapkan proyek ini bisa memacu rasio elektrifikasi di daerah itu yang baru memiliki tingkat teraliri listrik ke rumah masyarakat sebesar 89,80 persen.
Efek berganda
Tentunya, penggunaan EBT sebagai tenaga pembangkit listrik tak hanya memberikan keuntungan dari sisi lingkungan saja, melainkan pula memberikan dampak keekonomian yang luas.
Hadirnya PLTMH di dua wilayah terpencil Anggi, Papua Barat dan Wairara, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, misalnya, menciptakan efek berganda ekonomi yang nyata.
Listrik murah dan berkelanjutan bukan hanya menekan biaya energi masyarakat hingga lebih dari 80 persen, tetapi juga menyalakan rantai produktivitas dari rumah tangga, usaha mikro, hingga layanan publik.
Melalui kombinasi PLTMH Anggi Tahap I berkapasitas 1 x 150 kW dan PLTMH Anggi II sebesar 2 x 250 kW, pemerintah berhasil memangkas ketergantungan pada bahan bakar fosil diesel yang diketahui memiliki dampak terhadap penambahan emisi karbon, dan juga mahal.
Berdasarkan perhitungan PLN, proyek elektrifikasi EBT di Papua Barat itu menghemat penggunaan bahan bakar diesel mencapai Rp6,7 miliar per tahun. Dalam dua setengah tahun terakhir, total efisiensi biaya energi tercatat sekitar Rp17 miliar untuk memenuhi listrik di daerah tersebut.
Sementara untuk proyek elektrifikasi EBT dalam program Merdeka dari Kegelapan di NTT, efek berganda yang dirasakan yaitu sebelum PLTMH hadir, warga hanya mengandalkan genset dengan konsumsi solar mencapai 0,4 liter per kWh atau Rp2.720 per kWh.
Kini, biaya listrik turun drastis hingga 3–6 sen dolar AS per kWh atau setara Rp1.600 per kWh. Ini menghemat pengeluaran masyarakat hampir 50 persen, serta menekan konsumsi solar hingga 62.000 liter per tahun atau senilai Rp1,24 miliar.
EBT yang ada tak hanya menghidupkan turbin untuk menerangi rumah masyarakat di 3T, tapi turut menggerakkan roda ekonomi desa, menyalakan pendidikan, dan menumbuhkan kepercayaan diri masyarakat bahwa listrik bukan hanya milik kota.
Ketika listrik berasal dari alam sendiri, kesejahteraan pun tumbuh di tanah sendiri.



							














