Jakarta – (AmperaNews.com) – Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa’adi mengajak elemen bangsa menjadikan peringatan Hari Santri Nasional 2025 sebagai momentum refleksi dan penguatan peran santri dalam menjawab tantangan kebangsaan dan global.
“Peringatan Hari Santri bukan sekadar mengenang jasa para ulama dan santri terdahulu, melainkan menjadi momen strategis untuk mengokohkan jati diri santri sebagai agen perubahan dan pilar moderasi beragama,” ujar Zainut di Jakarta, Rabu.
Zainut menegaskan sejarah telah mencatat peran penting kalangan santri dan pesantren dalam merebut serta mempertahankan kemerdekaan. Hal ini membuktikan bahwa identitas keislaman tidak bertentangan dengan keindonesiaan, bahkan sejalan dan saling menguatkan.
Ia mengingatkan pentingnya menjaga orientasi pendidikan pesantren di tengah tantangan disrupsi informasi dan ideologi global. Menurut dia, pesantren harus tetap menjadi garda terdepan dalam menyebarkan ajaran Islam yang moderat (tawasuth), seimbang (tawazun), dan toleran (tasamuh).
“Pendidikan pesantren jangan hanya menjadi menara gading, melainkan harus menjadi laboratorium kearifan lokal dan global, mencetak generasi yang berilmu tinggi, berakhlak mulia, dan berwawasan luas,” ujarnya.
Peringatan Hari Santri tahun ini juga diwarnai keprihatinan atas sejumlah insiden yang mencoreng marwah pesantren, seperti ambruknya mushala di Pondok Pesantren Al Khoziny Sidoarjo, serta berbagai kasus kekerasan dan pelecehan seksual di beberapa pesantren.
“Peristiwa ini menjadi alarm untuk melakukan muhasabah terhadap tata kelola pesantren. Pesantren harus mampu menjamin keselamatan dan perlindungan bagi para santri,” kata Zainut.
Zainut juga menyoroti pentingnya penanganan tegas terhadap kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan pesantren. Ia menekankan kasus semacam itu tidak mewakili seluruh institusi pesantren di Indonesia.
“Mayoritas pesantren tetap menjaga integritas dan komitmen pada akhlak serta kesejahteraan santri. Karena itu, generalisasi negatif terhadap seluruh pesantren adalah tidak adil dan keliru,” ujarnya.
MUI mendorong pemerintah dan DPR untuk menjamin prinsip keadilan anggaran bagi seluruh satuan pendidikan, termasuk pesantren, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
“Pesantren tidak boleh dibiarkan berjuang sendiri hanya dengan swadaya masyarakat. Negara wajib hadir, tidak hanya secara moral, tetapi juga secara fiskal,” katanya.
Di samping itu,pelaksanaan UU Pesantren tidak berhenti pada simbolisme, tetapi diwujudkan dalam langkah konkret, seperti pengakuan lulusan pesantren, realisasi pendanaan berkelanjutan termasuk Dana Abadi Pesantren, serta penguatan tiga fungsi utama pesantren: pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
“Sudah saatnya pesantren mendapatkan pengakuan dan dukungan penuh sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional,” kata Zainut.


















