Bondowoso – (AmperaNews.com) – Berbicara mengenai toleransi antarpemeluk agama, seseorang, termasuk yang Muslim, seringkali menghadapi dilema kejiwaan yang tergolong rumit, saat masuk ke perenungan yang lebih mendalam.
Di satu sisi, seorang penganut agama tertentu, termasuk Muslim, harus meyakini bahwa agamanyalah yang paling benar. Pada tarikan napas yang sama, ia pun harus mengakui bahwa di agama yang lain juga ada kebenaran.
Bagaimana kita seharusnya menyikapi dilema psikis seperti itu pada saat seseorang ingin masuk pada pemahaman dan sikap toleran kepada pemeluk agama lain?
Secara ringan dan sangat menyentuh pada kesadaran yang terdalam, KH Buya Syakur Yasin, Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Cadangpinggan, Indramayu, Jawa Barat, memberikan ilustrasi yang menarik mengenai perasaan seorang suami atas istrinya yang cantik.
Ketika seorang suami merasa istrinya sangat cantik, bahkan paling cantik sedunia, lelaki itu juga harus membuka ruang kesadaran bahwa istri orang lain juga cantik, setidaknya menurut suaminya. Karena itu, seorang suami yang merasa istrinya paling cantik tidak perlu berdebat, protes, apalagi bentrok dengan lelaki lain yang juga mengaku istrinya cantik atau paling cantik.
Seperti itulah kita menempatkan agama yang kita yakini bersanding setara dengan agama yang diyakini oleh orang lain.
Sikap intoleran yang kerap menyebabkan kekacauan karena permusuhan antaragama, terjadi karena satu kelompok agama memaksa kelompok agama lain untuk mengakui bahwa agama mereka yang paling benar.
Jika berkaca pada ilustrasi mengenai istri paling cantik seperti yang diutarakan Buya Syakur itu, maka meyakini bahwa agama kita yang paling benar, cukup di keyakinan itu, tanpa diekspresikan untuk menyalahkan dan merendahkan agama yang lain.
Secara hakikat, keragaman dalam segala hal, seperti suku, rasa, budaya, dan agama, adalah kehendak mutlak dari Tuhan. Artinya, Tuhan yang memang menghendaki adanya agama yang bermacam-macam di Bumi ini.
Ketika umat manusia di Bumi menganut agama yang berbeda, itu juga bagian dari wujud kehendak mutlak Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki, maka semua manusia di Bumi ini akan menganut hanya satu agama.
Karena itu, menghayalkan semua manusia di dunia ini hanya menganut satu keyakinan, katakanlah, Islam saja atau Kristen saja atau Hindu saja, itu sama artinya dengan melawan kehendak Tuhan yang Maha Kuasa atas segala sesuatu di alam semesta.
Memaksa pihak lain harus sama dengan agama yang kita yakini adalah perbuatan sia-sia, bahkan hanya menimbulkan kekacauan atau kehancuran, lebih-lebih yang mengarah ke tindakan terorisme.
Tindakan membuat kerusakan di Bumi juga bertentangan dengan nilai-nilai suci dari agama. Maka, ketika agama dijadikan landasan untuk memaksakan kehendak terhadap pihak lain, sejatinya mereka bukan membela agama yang dianut. Sebaliknya, mereka justru menghancurkan nama baik atau merusak agama itu sendiri.
Karena itu, dalam ajaran Islam, yang harus selalu diperjuangkan untuk bersaing satu sama lain, termasuk dengan agama lain, adalah tolong menolong dalam kebaikan, sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam Surah Al-Ma’idah Ayat 2.
Kemudian, Nabi Muhammad SAW, dalam satu hadits menyampaikan bahwa sebaik-baik manusia adalah manusia yang banyak memberi manfaat kepada orang lain.
Maka untuk menjaga “sunnatullah” atau hukum alam yang sudah ditentukan Allah terkait beragamnya agama dan keyakinan di dunia ini adalah saling toleransi dan saling berkomunikasi satu dengan yang lain.
Melalui komunikasi yang intensif yang dilandasi oleh sikap saling mencintai dan menghargai, gesekan antarpemeluk agama dapat kita hindari.
Ketika terpaksa ada masalah, maka dengan landasan kasih sayang, tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan dengan akhir yang baik.
Menteri Agama Prof Dr Nasaruddin Umar pernah mengatakan bahwa kalau seluruh isi Kitab Suci Al Qur’an dipadatkan, maka isinya ada di Surat Al Fatihah. Kemudian, jika Al Fatihah juga dipadatkan, maka pemadatannya di ayat pertama, yakni “bismillaahir rahmaa nirrahiim”.
Sementara jika dari 6.666 ayat juga dipadatkan, maka intinya ada di satu kata, yakni cinta, yang dalam Bahasa Arab adalah rahman rahim.
Maka, Nasaruddin mengingatkan, jika berkomunikasi dengan orang lain dilandasi oleh kebencian, maka hal itu bukan merupakan sikap yang Qurani. Karena sesungguhnya Al Quran itu adalah kitab cinta.
Pemerintah, melalui Kementerian Agama, terus mengampanyekan program moderasi beragama yang di dalamnya berisi penguatan pemahaman mengenai penghormatan terhadap keimanan kelompok lain.
Selain itu, Kemenag juga menanamkan nilai kasih sayang sejak dini kepada anak-anak untuk bersikap toleran, melalui program pendidikan “kurikulum cinta”.
Lewat program ini, pendidikan tidak hanya dipandang sebagai upaya penanam pengetahuan kognitif, melainkan sebagai ikhtiar untuk membentuk dan membina mental generasi muda menjadi cerdas, sekaligus toleran, dan selalu menampilkan sikap yang penuh dengan kasih sayang.
Lewat penguatan pemahaman mendasar ini, kita akan menyaksikan tempat ibadah bersanding satu sama lain dan pemeluknya merasa saling nyaman melaksanakan ibadah. Para pemeluk agama hidup dalam suasana saling mengasihi dan menyayangi.


















