Jakarta – (AmperaNews.com) – Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan pihaknya bakal menyinkronkan Qanun atau aturan hukum yang berlaku di Aceh dengan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) untuk mencegah penghukuman dua kali terhadap orang yang sama atas peristiwa hukum yang sama.
Dia menyampaikan hal itu untuk merespons aspirasi yang disampaikan oleh Aliansi Mahasiswa Nusantara (Aman) terkait fenomena adanya warga Aceh yang tetap dipidana setelah menjalani hukuman dari Qanun. Habiburokhman pun menyebut bahwa hal tersebut menarik untuk dicermati.
“Nanti bisa diformulasikan norma pasal yang secara rinci mengatur bagaimana sinkronisasi Qanun dengan RKUHAP yang akan datang,” kata Habiburokhman di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu.
Pada prinsipnya, kata dia, ada azas Ne Bis In Idem yang menyatakan bahwa terhadap satu masalah yang sama tidak bisa diadili dua kali, baik oleh Qanun dengan kekhususan Aceh atau dengan hukum nasional.
Dia menilai konsep penyelesaian 18 tindak pidana ringan yang dipraktikkan di Aceh melalui Qanun sudah mendahului konsep restorative justice yang baru akan diimplementasikan dalam RKUHAP.
Sehingga, kata dia, Qanun dan KUHAP hanya tinggal disinergikan saja.
Dia pun menilai bahwa restorative justice sebenarnya bukan hanya berasal nilai-nilai dari luar saja, melainkan bangsa Indonesia juga sudah mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari sejak masa lampau.
“Kalau kita ingat dari jaman dulu kita terbiasa menyelesaikan masalah secara kekeluargaan, terutama masalah yang tidak berakibat fatal, tidak berakibat kematian,” kata dia
Sementara itu, perwakilan dari Aliansi Mahasiswa Nusantara Muhammad Fadli mengatakan bahwa di Aceh ada 18 perkara tindak pidana ringan yang bisa diselesaikan oleh lembaga peradilan adat tingkat kampung atau desa.
Namun, kata dia, ada beberapa kasus di Aceh misalnya ada pihak-pihak yang terlibat permasalahan dan sudah diselesaikan di lembaga peradilan adat.
Namun, kata dia, ada salah satu pihak yang tidak berkomitmen dan melaporkan permasalahan itu ke aparat penegak hukum.
“Di sini kan konsepnya aparat penegak hukum tidak bisa menolak laporan, tapi di satu sisi lembaga peradilan adat sudah memutuskan, sehingga terjadinya ketidakpastian hukum,” kata Fadli.


















