Jakarta – (AmperaNews.com) – Pengamat sosial Serian Wijatno mengatakan fenomena bullying atau perundungan di sekolah maupun di masyarakat masih menjadi isu krusial yang menuntut perhatian serius dan tindakan kolektif.
Menurut dia, bullying dapat menyebabkan korbannya menderita secara psikologi seperti rendah diri dan lainnya yang dapat berakibat fatal seperti pemurung bahkan bunuh diri, sementara kasus-kasus yang terus bermunculan menunjukkan bahwa pendekatan sporadis tidak lagi memadai.
“Artinya diperlukan sebuah strategi komprehensif, terstruktur, dan berkelanjutan yang melibatkan seluruh ekosistem baik di masyarakat maupun sekolah. Misalkan kalau di sekolah melibatkan siswa, guru, orang tua, dan manajemen untuk menciptakan lingkungan belajar yang benar-benar aman dan inklusif,” katanya di Jakarta pada Jumat.
Serian menegaskan, upaya melawan bullying dapat dianalisis dan diterapkan melalui tiga pilar utama yang saling mendukung yakni pencegahan, intervensi dan pembangunan budaya.
Pencegahan, katanya, adalah lini pertahanan pertama. Masyarakat dan sekolah harus berinvestasi dalam program yang tidak hanya mengidentifikasi perilaku buruk, tetapi juga mengajarkan keterampilan sosial dan emosional yang positif.
“Khusus bagi lembaga pendidikan harus ada edukasi menyeluruh seperti mengadakan sesi workshop wajib secara rutin bagi semua siswa tentang definisi bullying baik fisik, verbal, relasional, dan cyber serta dampak psikologisnya, dan peran bystander aktif atau aksi yang berani melapor bahkan menolong. Sekolah juga perlu memiliki kode etik yang jelas dan tegas mengenai bullying, lengkap dengan sanksi yang konsisten dan tidak pandang bulu. Aturan ini harus disosialisasikan kepada semua pihak,” ujarnya.
Namun yang tak kalah penting, lanjut dia, adalah melakukan pengawasan proaktif dengan melakukan peningkatan pengawasan, terutama di area ‘rawan’ di lingkungan publik maupun sekolah seperti toilet, kantin, dan sudut-sudut sepi.
Ia juga menyarankan hal itu perlu didukung oleh sikap proaktif masyarakat dan sekolah untuk menjadi pengamat dan pendengar aktif.
Strategi yang kedua, Serian mengingatkan publik dan lingkungan sekolah harus responsif terhadap isu perundingan tersebut.
”Misalnya, ketika kasus bullying terjadi, respons masyarakat dan sekolah harus cepat, adil, dan berorientasi pada pemulihan. Sekolah dan lingkungan perlu menyediakan jalur pelaporan anonim dan rahasia, kotak saran, aplikasi, atau nomor kontak khusus agar korban atau saksi tidak takut akan pembalasan. Kerahasiaan adalah kunci untuk mendorong pelaporan,” tegasnya.
Di sinilah, kata dia, perlunya layanan konseling terpadu sebagai dukungan psikologis intensif, tidak hanya kepada korban untuk memulihkan trauma dan rasa aman, tetapi juga kepada pelaku untuk mengidentifikasi akar masalah perilakunya dan merehabilitasi, bukan sekadar menghukum.
Sementara strategi ketiga ialah perlu upaya transformasi budaya dengan menjadikan anti-bullying sebagai nilai inti.
“Masyarakat dan sekolah harus secara teratur menyuarakan tentang risiko bullying serta mempromosikan iklim persahabatan dan rasa memiliki,” ujarnya.


















