Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Uncategorized

PM Nepal Mundur, 22 Tewas: Akar Demo Gen Z dari Larangan Medsos hingga Isu Korupsi

7
×

PM Nepal Mundur, 22 Tewas: Akar Demo Gen Z dari Larangan Medsos hingga Isu Korupsi

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

AMPERANEWS.COM – Kantor perdana Menteri Nepal menyatakan bahwa Oli mengundurkan diri untuk membuka jalan bagi solusi konstitusional lantaran demonstrasi kaum Gen-Z yang menentang tuduhan praktik korupsi telah meluas dan berubah menjadi aksi kekerasan. Rangkaian demonstrasi itu dipicu oleh larangan media sosial, yang kini telah dicabut.

Aksi kekerasan dimulai ketika ribuan orang—sebagian besar menyebut diri mereka sebagai Gen Z—turun ke jalan di Kathmandu pada Senin (08/09).

Example 300x600

Hampir 200 orang diyakini terluka dalam bentrokan dengan polisi. Aparat menggunakan gas air mata, meriam air, dan peluru tajam saat para pengunjuk rasa memanjat tembok parlemen dan gedung-gedung resmi lainnya.

Pada Selasa (09/09), para demonstran membakar gedung Dewan Perwakilan Rakyat, markas besar Partai Kongres Nepal, dan rumah mantan perdana menteri Sher Bahadur Deuba. Rumah beberapa politisi lainnya juga telah dirusak.

Berikut yang kami ketahui tentang rangkaian aksi protes tersebut.

Apa itu larangan media sosial?

Media sosial merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat Nepal. Bahkan, tingkat pengguna medsos per kapita di Nepal adalah yang tertinggi di Asia Selatan.

Pekan lalu, pemerintah memutuskan untuk melarang 26 platform media sosial, termasuk WhatsApp, Instagram, dan Facebook, karena aplikasi-aplikasi itu gagal memenuhi tenggat waktu pendaftaran ke Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi Nepal.

Para kritikus menuduh pemerintah berusaha meredam kampanye antikorupsi dengan larangan tersebut.

Larangan itu kemudian memicu demonstrasi massa. Meski kemudian larangan itu dicabut pada Senin (08/09) malam, aksi protes telah meluas dan menjadi pintu masuk bagi para pengunjuk rasa untuk menyalurkan ketidakpuasan yang lebih mendalam terhadap pemerintah.

Apa yang terjadi di Nepal?

Demonstrasi berubah menjadi aksi kekerasan di Kathmandu dan beberapa kota lain di Nepal. Sebanyak 19 pengunjuk rasa tewas dalam bentrokan dengan polisi pada Senin (08/09).

Pada hari yang sama, Menteri Komunikasi Nepal, Prithvi Subba, mengatakan kepada BBC bahwa polisi terpaksa menggunakan kekerasan—termasuk meriam air, pentungan, dan tembakan peluru karet.

Namun, beberapa pengunjuk rasa mampu menembus pagar gedung parlemen di Kathmandu. Hal ini mendorong polisi untuk memberlakukan jam malam di sekitar gedung-gedung pemerintah utama dan memperketat keamanan.

Pada Selasa (09/09), para pengunjuk rasa membakar gedung DPR di ibu kota Kathmandu. Gedung-gedung pemerintah dan rumah-rumah para pemimpin politik juga diserang di seluruh negeri.

Setidaknya tiga orang dilaporkan tewas pada Selasa (09/09), sehingga total korban tewas menjadi setidaknya 22 orang sejak kerusuhan dimulai.

Banyak korban luka telah dibawa ke rumah sakit terdekat dengan lokasi demonstrasi.

BBC Nepali berbicara dengan para dokter yang mengatakan mereka telah merawat korban luka tembak dan luka akibat peluru karet. Polisi mengatakan beberapa petugas juga terluka dan jumlah korban diperkirakan akan bertambah.

Pada Selasa (09/09) malam, Panglima Angkatan Darat Nepal, Jenderal Ashok Raj Sigdel, mengeluarkan pernyataan yang menuduh para demonstran memanfaatkan krisis yang sedang berlangsung dengan merusak, menjarah, serta membakar properti publik dan pribadi.

Jika kerusuhan berlanjut, kata sang jenderal, “semua lembaga keamanan, termasuk Angkatan Darat Nepal, berkomitmen untuk mengendalikan situasi.”

Pada saat yang sama, Jenderal Ashok Raj Sigdel mengundang para demonstran untuk berdialog guna menemukan solusi atas kerusuhan terburuk di Nepal dalam beberapa dekade.

Siapa yang memprotes?

Protes ini berbeda dari yang pernah terjadi sebelumnya di Nepal karena digerakkan di media sosial dan dipimpin oleh anak-anak muda Nepal.

Para demonstran menyebut diri sebagai Gen Z, dan istilah ini telah menjadi simbol persatuan dalam aksi massa.

Meskipun belum ada pemimpin yang jelas, sejumlah kelompok pemuda telah muncul sebagai kekuatan penggerak, menyerukan aksi dan berbagi informasi terkini secara daring.

Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dan universitas di kota-kota besar Nepal—Kathmandu, Pokhara, dan Itahari—diundang untuk bergabung dengan mengenakan seragam dan buku di tangan.

Video-video yang beredar di media sosial menunjukkan bahkan pelajar sekolah pun berpartisipasi dalam aksi protes.

Apa tuntutan para demonstran?

Dua tuntutan utama para demonstran sudah jelas: pemerintah mencabut larangan media sosial, (yang sudah dipenuhi) dan para pejabat mengakhiri “praktik korupsi”.

Para pengunjuk rasa, kebanyakan mahasiswa, mengaitkan pemblokiran media sosial dengan pembatasan kebebasan berbicara serta tuduhan korupsi yang meluas di kalangan politisi.

“Kami ingin mengakhiri korupsi di Nepal,” ujar Binu KC, seorang mahasiswa berusia 19 tahun, kepada BBC Nepali.

“Para pemimpin hanya menjanjikan satu hal selama pemilu, tetapi tidak pernah menepatinya. Mereka adalah penyebab dari begitu banyak masalah,” lanjutnya.

Ia menambahkan bahwa larangan media sosial telah mengganggu pendidikannya, membatasi akses ke kelas daring dan sumber belajar.

Subhana Budhathoki, seorang kreator konten, menyuarakan rasa frustrasinya: “Generasi Z tidak akan berhenti sekarang. Protes ini bukan hanya tentang media sosial—Ini tentang membungkam suara kami, dan kami tidak akan membiarkan itu terjadi.”

Apa itu tren ‘NepoKids’ dan apa hubungannya dengan demonstrasi?

Ciri khas rangkaian demonstrasi ini adalah meluasnya penggunaan dua slogan—#NepoBaby dan #NepoKids.

Kedua istilah ini semakin populer di media sosial dalam beberapa minggu terakhir setelah sejumlah video viral menunjukkan gaya hidup mewah para politisi dan keluarga mereka di Nepal.

Para pengunjuk rasa berpendapat bahwa orang-orang ini menikmati kesuksesan dan kemewahan hidup dari uang pajak, sementara rakyat Nepal berjuang susah payah.

Video viral di TikTok dan Instagram telah membandingkan gaya hidup mewah keluarga politik—yang memakai pakaian desainer, jalan-jalan ke luar negeri, dan menggunakan mobil mewah—dengan kenyataan pahit yang dihadapi kaum muda, termasuk pengangguran dan migrasi paksa.

Slogan-slogan tersebut telah menjadi simbol frustrasi mendalam terhadap ketimpangan yang terjadi di Nepal.

Apa yang mungkin terjadi selanjutnya?

Meskipun perdana menteri telah mengundurkan diri, belum jelas siapa yang akan menggantikannya—atau apa yang akan terjadi selanjutnya, karena tampaknya tidak ada yang bertanggung jawab.

Beberapa pemimpin, termasuk para menteri, dilaporkan telah berlindung di balik pasukan keamanan.

Sebagian besar para demonstran sejauh ini telah menentang jam malam tanpa batas waktu di Kathmandu dan sekitarnya.

Para pengunjuk rasa menuntut akuntabilitas dan reformasi dalam pemerintahan.

Namun, jika pemerintah gagal mendengar dan melaksanakan tuntutan secara signifikan, para analis memperingatkan bahwa kerusuhan dapat meningkat lebih lanjut, terutama karena mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil ikut serta.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *